Cilegon – Pemerintah resmi memperpanjang Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Freeport Indonesia hingga 2061 melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024. Keputusan ini menuai kritik dari anggota DPR RI Mulyanto yang menilai hal tersebut tidak sesuai dengan regulasi yang ada.
Mulyanto, anggota Komisi VII DPR RI, mempertanyakan kebijakan perpanjangan IUP Freeport yang dilakukan jauh sebelum masa yang ditentukan. Izin usaha pertambangan Freeport diketahui akan berakhir pada 2041, sehingga seharusnya perpanjangan baru bisa dilakukan pada 2036.
Dia menduga revisi PP tersebut hanya akal-akalan pemerintah untuk mengakomodasi kepentingan PT Freeport. Mulyanto juga menuding PT Freeport tak layak izin tambangnya diperpanjang karena kinerjanya selama ini kurang baik, seperti molornya pembangunan smelter dan pelanggaran aturan ekspor konsentrat.
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia sebelumnya menjelaskan bahwa revisi PP No. 96 Tahun 2021 dilakukan untuk mempermudah proses akuisisi saham PT Freeport oleh pemerintah dari 51% menjadi 61%.
Selain itu, revisi ini juga dilakukan untuk memaksimalkan keuntungan negara dengan mengubah syarat perpanjangan kontrak perusahaan. Bahlil beralasan bahwa produksi Freeport akan mulai menurun pada 2035, sementara eksplorasi underground membutuhkan waktu minimal 10 tahun.
Mulyanto tetap tidak setuju dengan argumen pemerintah. Dia menegaskan bahwa UU Minerba yang baru mengamanatkan agar smelter PT Freeport harus jadi di Juni 2023 dan sejak itu berlaku pelarangan ekspor konsentrat.
Menurutnya, pemerintah seharusnya mengevaluasi kinerja Freeport sebelum memperpanjang izin, bukan malah mempermudah prosesnya. Mulyanto juga mencurigai bahwa UU Minerba telah diubah untuk mengakomodasi kepentingan Freeport.
Polemik perpanjangan IUP Freeport ini masih terus berlanjut. Mulyanto berencana untuk menggugat revisi PP tersebut ke Mahkamah Agung. Dia berharap pemerintah lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan terkait pertambangan dan mengedepankan kepentingan rakyat.