Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat rekor tertinggi pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) sejak Desember 2022, yaitu sebesar 8,21% secara tahunan (yoy) per April 2024. Pertumbuhan DPK ini ditopang oleh korporasi, di mana giro korporasi naik 15,8% yoy menjadi Rp 2.068,4 triliun dan deposito korporasi melesat 16,1% yoy menjadi Rp 1.539,5 triliun. Tabungan korporasi pun tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan perorangan, yakni 6,7% yoy menjadi Rp 238,8 triliun.
Di sisi lain, giro perorangan mengalami kontraksi 19% yoy dan deposito tumbuh melambat menjadi 2,3% yoy dari bulan sebelumnya 2,4% yoy.
Menurut Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Moch Amin Nurdin, tingginya DPK Korporasi ini menunjukkan perusahaan-perusahaan di Indonesia masih cenderung wait and see dan menahan dananya di bank. Hal ini dikarenakan perusahaan masih mempertimbangkan kondisi global dan nasional, seperti geopolitik, nilai tukar rupiah, penguatan dolar, politik dalam negeri, dan sebagainya.
“Korporasi wait and see, mereka melihat, masih menunggu Pilkada akan seperti apa, transisi kepemimpinan akan seperti apa, nah baru kemudian mereka akan berpikir untuk mulai investasi. Itu yang mengakibatkan DPK korporasi meningkat,” ujar Amin.
Amin menambahkan, tingginya DPK korporasi ini bukan sesuatu yang menarik. Lantaran meski jumlahnya besar, namun kebanyakan merupakan dana mahal.
“Kalau dapatnya dari korporasi sih saya nggak melihat itu sebagai hal yang menarik ya, karena kan itu pasti akan ada privilege mereka minta special rate ya. Beda dengan individu di tengah suku bunga yang cukup tinggi sekarang ini, ini mereka pasti paham dan ada tuntutan,” ujarnya.
Senada dengan Amin, Ekonom Segara Institute, Piter Abdullah mengatakan, naiknya pertumbuhan DPK korporasi ini memperlihatkan bahwa para korporasi belum berani untuk melakukan investasi.
“Ini justru mengindikasikan dunia usaha tidak baik-baik saja. Korporasi tidak melakukan ekspansi. Dananya tidak digunakan untuk investasi dan modal kerja. Menjadi idle menumpuk di perbankan,” ujar Piter.
Hal ini bisa membawa efek domino atas tidak terciptanya lapangan kerja dan pendapatan bagi masyarakat.
“Pertumbuhan DPK yang tinggi ditengah masih rendahnya pertumbuhan kredit bukan sebuah berita bagus,” tuturnya.
Di tengah tingginya DPK, BI mencatat suku bunga perbankan dalam posisi stabil, kendati era suku bunga tinggi masih bertahan untuk waktu yang lebih panjang.
Suku bunga deposito dan kredit per April 2024 masing-masing 4,59% dan 9,25%, relatif stabil dibandingkan dengan perkembangan bulan sebelumnya.
“Suku bunga perbankan tetap terjaga dipengaruhi memadainya likuiditas perbankan sejalan dengan bauran kebijakan BI sejalan dengan kebijakan KLM (Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial) dan dampak kebijakan transparansi SBDK,” katanya.
Berdasarkan data BI, per Maret 2024, suku bunga kredit menurun, sedangkan bunga simpanan naik. Rata-rata tertimbang suku bunga kredit sebesar 9,25%, turun dibandingkan bulan sebelumnya 9,28%.
Pada periode yang sama bunga deposito tenor 6 bulan, 12 bulan, 24 bulan masing-masing sebesar 5,69%, 5,83%, dan 3,94%. Bulan sebelumnya bunga deposito dengan tenor yang sama sebesar 5,67%, 5,80%, dan 3,81%.