Serang – Mahkamah Konstitusi (MK) menerima gugatan terhadap Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang baru-baru ini disahkan. Gugatan ini diajukan oleh dua orang, Leonardo Olefins Hamonangan (karyawan swasta) dan Ricky Donny Lamhot Marpaung (pelaku usaha UMKM).
Pemohon keberatan dengan kewajiban pekerja dan pekerja mandiri ikut Tapera karena beberapa alasan:
- Merugikan keuangan: Iuran Tapera 3% akan menambah beban pengeluaran, terutama bagi pekerja yang sudah berkeluarga dan menanggung anak.
- Bukan program prioritas: Menurut pemohon, Tapera tidak seurgen BPJS Kesehatan yang berkaitan dengan kesehatan dan bisa datang sewaktu-waktu.
- Memperberat UMKM: Sanksi pembekuan dan pencabutan izin usaha bagi UMKM yang tidak ikut Tapera dinilai memberatkan.
- Kekhawatiran korupsi: Pengelolaan dana Tapera dikhawatirkan rawan korupsi seperti kasus Asabri.
Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 7 ayat 1 dan 2 UU Tapera bertentangan dengan UUD 1945. Mereka juga meminta agar program Tapera dihentikan.
Gugatan ini diajukan di tengah penolakan dari berbagai karyawan swasta terhadap Tapera. Selain Tapera, potongan gaji bulanan mereka sudah banyak, seperti untuk iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Pemerintah berencana memberlakukan Tapera wajib bagi seluruh pekerja mulai 2027. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024. Iuran Tapera sebesar 3% akan dibayarkan secara gotong royong, 2,5% oleh pekerja dan 0,5% oleh pemberi kerja.
Kasus ini masih dalam proses di MK. Keputusan MK nantinya akan menentukan kelanjutan program Tapera.